Kamis, 15 November 2018

ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERJANJIAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN

 

UNIVERSITAS GUNADARMA

TUGAS ASPEK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN

ASPEK PENATAAN RUANG DAN PERJANJIAN UNTUK MELAKSANAKAN PROYEK PEMBANGUNAN
Hubungan IMB dengan Penataan Ruang Kota

                                                                    Maulana Syifa
                                               M. Agung
                                         M. Oktavianto P
                                            Kelompok 12
                                                 4TA05


Program Studi Teknik Sipil
Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas Gunadarma







Hubungan IMB dengan Penataan Ruang Kota
1.      Perizinan di Bidang Bangunan (Gambaran Umum Perizinan Bangunan)

            Fungsi bangunan sebagai tempat segala aktivitas manusia, mulai dari aktivitas perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi pemerintah daerah sebagai “agent of development, agent of change, agent of regulation”.
            Dalam fungsinya tersebut, pemerintah daerah berkepentingan terhadap izin-izin bangunan. Perizinan bengunan diberlakukan agar tidak terjadi kekacau-balauan dalam penataan ruang kota, dan merupakan bentuk pengendalian pembangunan ruang kota.

            Tentang perlunya izin bangunan, ini akan nampak manakala kita melihat kota-kota besar. Kota besar seperti Jakarta dan sebagainya mengalami pertumbuhan yang sangat cepat dan akan terus berlanjut dari tahun ketahun. Kebutuhan akan perumahan (mulai rumah perumahan sederhana, rumah susun, apartemen, dan real estate), perkantoran, pertokoan, mall, dan tempat-tempat hiburan (hotel, diskotek), tempat pendidikan  dan bangunan lainnya semakin tinggi sebagai akibat pertambahan penduduk dan kebutuhannya.
            Pembangunan di bidang real estate, industrial estate, shopping centre, dan sebagianya, saat ini diperlukan pengaturan dalam rangka pengendalian dampak pembangunan, yang meliputi dampak  lingkungan, impact fee dan  traffic Impact Assement.
            Impact fee, adalah biaya yang harus dibayar oleh pengembang kepada pemerintah kota akibat dari pembangunan yang mereka laksanakan. Pelaksanaan pembangunan oleh pengembang akan mengakibatkan biaya infrastruktur bagi pemerintah kota , karena seluruh jaringan infrastruktur yang dibangun akan disambung dengan system jaringan kota, yang pada gilirannya akan menuntut peningkatan kapasitas.
            traffic Impact Assement , yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang untuk malakukan kajian analisis tentang dampak lalu lintas. Kajian tersebut harus dapat menggambarkan kinerja jaringan jalan sebelum dan stelah ada pembangunan, dampaknya dan bagaimana mengatasinya. (Ismail Zuber, 2000, hal. 12)


2.      Pembangunan  Gedung dan Hubungannya dengan Perizinan

            Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena itu, dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada peraturan penataan ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan gedung harus memenuhi persyaratan administrative dan teknis bangunan gedung, serta harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.
            Dalam hal ini pemerintah telah mengatur dengan dikeluarkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Undang-undang ini mengatur fungsi bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung, termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah, dan sanksinya.
            Seluruh maksud dan tujuan pengaturan dalam undang-undang diatas dilandasi oleh azas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berperikeadilan.
     Dengan diberlakukannya undang-undang ini, semua penyelenggaraan bangunan gedung, baik pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara Republik Indonesia, yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, dan oleh fihak asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Bangunan Gedung. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 225).
            Di dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung, telah ditentukan persyaratan administrasi bangunan gedung, yaitu :
a.     status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak atas tanah ;
b.     status kepemilikan bangunan gedung ;
c.     izin mendirikan bangunan gedung;
d.    kepemilikan, dan pendataan bangunan gedung.
            Menyangkut dengan pembangunan gedung yang dilakukan oleh pengembang haruslah memperhatikan keharmonisan antara bangunan dengan lingkungan sekitarnya. Selain harus memperhatikan keserasian intern, yaitu keserasian antara bahan atap, warna bangunan, jalan masuk, saluran air bersih, air limbah, pelayanan telekomunikasi, pertamanan, penempatan nomor, nama hunian, dan hal-hal lain yang menunjukkan nilai dari komunitas.
            Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang dalam melaksanakan bangunan , antara lain :
a.         Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
b.        Koefisien Luas Bangunan (KLB)
c.         Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU)
            Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut : 
a.     Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
           Koefisien Dasar Bangunan (KDB), menunjukkan luas dasar (footprint) bangunan maksimum yang boleh dibangun dibanding luas kavling. KDB tidak boleh melebihi rasio maksimum yang diperbolehkan seperti terlihat pada gambar kadaster yang terlampir dalam PPJD. Persentase KDB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk kavling akan ditentukan dalam Gambar Kadaster oleh Pengembang. 
b.      Koefisien Luas Bangunan (KLB)
  Koefisien Luas Bangunan (KLB) ini menunjukkan luas keseluruhan bangunan yang boleh dibangun disbanding luas tanah. KLB tidak boleh melebihi standar yang ditentukan oleh pengembang, rasio KLB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk kavling.
c.        Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU)
            Daerah Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU), adalah daerah dimana pengembang berhak untuk menetapkan jarak maksimum bebas bangunan yang terdapat pada sepanjang batas belakang atau depan sebagai cadangan jalur utilitas.
            Berkaitan dengan hal tersebut beberapa kavling akan mempunyai bak control (Inspection Chamber = IC), yang harus dapat dicapai oleh pengembang dan/ atau pengelola dan/ atau pejabat pemerintah yang berwenang, guna pemeliharaan system tersebut. Apabila system tersebut memerlukan perbaikan, maka pembeli harus mengizinkan pekerja dari instansi-instansi tersebut untuk melakukan perbaikan yang diperlukan. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 227).

3.      Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)

            Pengaturan dalam pemberian izin pendirian dan penggunaan bangunan dilakukan untuk menjamin agar pertumbuhan fisik perkotaan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tidak menumbulkan kerusakan penataan kota tersebut. Oleh karenanya maka setiap akan membangun harus mengurus dulu Izin Medirikan Bangunan (IMB). Sedangkan pada saat akan menggunakan bangunan juga harus lebih dahulu memperoleh Izin Penggunaan Bangunan (IPB).
            Mengapa  mendirikan bangunan dan menggunakannya itu membutuhkan IMB dan IPB ? Dalam hal ini ada beberapa alasan, yaitu :
a.       Agar tidak menimbulkan gugatan fihak lain setelah bangunan berdiri, untuk itu sebelum mendirikan bangunan harus ada kejelasan status tanah yang bersangkutan.
b.      Lingkungan kota memerlukan penataan dengan baik dan teratur, indah, aman, tertib, dan nyaman. Untuk mencapai tujuan itu penataan dan pelaksanaan pembanguna bangunan di perkotaan harus isesuaikan dengan  Rencana Tata Ruang Kota.
c.       Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) juga dimaksudkan untuk menghindri bahaya secara fisik bagi penggunaan bangunan. Untuk itu dibutuhkan rencana bangunan yang matang dan memenuhi standr/ normalisasi teknis bangunan yang telah diteapkan yang meliputi arsitektur, kontruksi dn intalainya.
d.      Pemantauan terhadap standar/normalisasi teknis banguna melalui izin Penggunaan Bangunan diharapkan dapat mencegah bahaya yang mungkin timbul.
            Tentang pelayanan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sebenarnya dapat dilakukan dengan pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan pemberian izin yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi oleh beberapa instansi pemerintah yang terlibat dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), misalnya Dinas Tata Kota, BPN, Tim arsitektur, dan sebagainya


4.      Pelayanan Izin Membangun Bagi Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi Daerah

            Di dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 63/KEP/M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik, telah digariskan bahwa keterpaduan sistem penyelenggaraan pelayanan melalui jaringan informasi on-line harus dikembangkan dengan penyediaan data dan informasi sehinga penyelenggaraan pelayanan dapat dilakukan secara tepat, akurat dan aman
            Dalam hal ini ada 4 (empat) kondisi yang memacu arah perbaikan mutu pelayanan masyarakat, yaitu :
a.       Lingkungan yang berkembang dan tuntutan masyarakat juga meningkat seiring dengan kondisi dan kwalitas hidup masyarakat.
b.      Kuatnya sector swasta mencari lokasi tempat usaha (gedung) untuk merebut pangsa pasar di dalam memasarkan produk barang dan jasanya di suatu wilayah.
c.       Perkembangan teknologi yang dapat memeberikan layanan terbaik dengn komunikasi yang lebih luas dan mudah.
d.      Tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk memperoleh layanan public yang berkwalitas, efisien dan efektif.
                       Dalam hal ini ada beberapa pemikiran, anatara lain :
a.       Banyaknya rekomendasi dan izin yang harus dipenuhi untuk memperoleh IMB, seperti untuk membangun lokasi saha, maka diperlukan rekomendasi AMDAL, dinad tata ruang dan lain sebagainya.
b.      Belum adanya system pelayanan satu atap secar menyeluruh, baik mengenai personilnya, kantor/tempat pelayanannya, peralatan dan lain sebagainya.

5.      Pembangunan Proyek-Proyek Pemerintah

            Pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dilapangan sering berbenturan dengan kepentingan individu dan masyarakat, yang kemudian sampai ke PTUN.
            Yang menjadi persoalan adalah, mungkinkah dilakukan penundaan atas proyek karena menunggu putusan PTUN?, Dapatkah proyek-proyek tersebut dikategorikan kepentingan umum ?. Bagaimana nasib kerugianyang diderita penggugat akibat pelaksanaan proyek tersebut ?.
            Mengingat bahwa proyek-proyek tersebut pendanaannya adalah terkait dengan disiplin anggaran negara, maka jika terjadi penundaan akan berdampak pada perencanaan dan mata anggaran tersebut, apalagi jika tidak selesai tepat waktu, maka anggaran akan hangus. Lalu siapa yang rugi ?. Yang rugi jelas pertama-tama adalah negara, kemudian developer dan yang terakhir adalah masyarakat.

6.      Hubungan dengan Tata Ruang Kota
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. 
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan, mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.    
Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis, maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan. Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. 
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang, maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan ruang.
7.Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di Indonesia Dulu Hingga Sekarang
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut baru dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC khusus untuk Kota Batavia. 
Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan, jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung jawab pemerintah kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi setelah Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan, administrasi dan keuangan kota sendiri. 
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan pemeliharaan jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan, perbaikan perumahan dan perluasan kota. Berdasarkan undang-undang ini dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan kota. 
Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya pengembangan perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah yang seragam.
Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk penyusunan rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas Karsten  mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.
Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar kegiatan perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia meminta pemerintahan Hindia Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan kota tingkat pusat. Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun 1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti Bijblad. 
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan rekreasi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang kemerdekaan  Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di Jawa baru disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb 1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan peraturan pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau Peraturan Pembentukan Kota). 
SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang, Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap, Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia, selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun 1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.
RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota. Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :

a.Kebijaksanaan pengembangan penduduk kota;
b.Rencana pemanfaatan ruang kota;
c.Rencana struktur pelayanan kegiatan kota;
d.Rencana sistem transportasi;
e.Rencana sistem jaringan utilitas kota;
f.Rencana kepadatan bangunan;
g.Rencana ketinggian bangunan;
h.Rencana pemanfaatan air baku;
i.Rencana penanganan lingkungan kota;
j.Tahapan pelaksanaan bangunan; dan 
k.Indikasi unit pelayanan kota