Program
Studi Teknik Sipil
Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan
Universitas
Gunadarma
Hubungan IMB
dengan Penataan Ruang Kota
1.
Perizinan di Bidang Bangunan (Gambaran Umum Perizinan Bangunan)
Fungsi bangunan sebagai tempat segala aktivitas manusia, mulai dari aktivitas
perekonomian, kebudayaan, sosial, dan pendidikan terkait dengan fungsi
pemerintah daerah sebagai “agent of development, agent of change, agent of
regulation”.
Dalam fungsinya tersebut, pemerintah daerah berkepentingan terhadap
izin-izin bangunan. Perizinan bengunan diberlakukan agar tidak terjadi
kekacau-balauan dalam penataan ruang kota, dan merupakan bentuk pengendalian
pembangunan ruang kota.
Tentang
perlunya izin bangunan, ini akan nampak manakala kita melihat kota-kota besar.
Kota besar seperti Jakarta dan sebagainya mengalami pertumbuhan yang sangat
cepat dan akan terus berlanjut dari tahun ketahun. Kebutuhan akan perumahan
(mulai rumah perumahan sederhana, rumah susun, apartemen, dan real estate),
perkantoran, pertokoan, mall, dan tempat-tempat hiburan (hotel, diskotek),
tempat pendidikan dan bangunan lainnya semakin tinggi sebagai akibat
pertambahan penduduk dan kebutuhannya.
Pembangunan di bidang real estate, industrial estate, shopping centre, dan
sebagianya, saat ini diperlukan pengaturan dalam rangka pengendalian dampak
pembangunan, yang meliputi dampak lingkungan, impact fee dan traffic
Impact Assement.
Impact fee, adalah biaya yang harus dibayar oleh pengembang kepada pemerintah kota
akibat dari pembangunan yang mereka laksanakan. Pelaksanaan pembangunan oleh
pengembang akan mengakibatkan biaya infrastruktur bagi pemerintah kota , karena
seluruh jaringan infrastruktur yang dibangun akan disambung dengan system
jaringan kota, yang pada gilirannya akan menuntut peningkatan kapasitas.
traffic Impact
Assement , yaitu kewajiban yang harus dipenuhi oleh pengembang untuk
malakukan kajian analisis tentang dampak lalu lintas. Kajian tersebut harus
dapat menggambarkan kinerja jaringan jalan sebelum dan stelah ada pembangunan,
dampaknya dan bagaimana mengatasinya. (Ismail Zuber, 2000, hal. 12)
2.
Pembangunan Gedung dan Hubungannya dengan Perizinan
Bangunan gedung merupakan salah satu wujud fisik pemanfaatan ruang. Oleh karena
itu, dalam pengaturan bangunan gedung tetap mengacu pada peraturan penataan
ruang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Untuk menjamin kepastian
dan ketertiban hukum dalam penyelenggaraan bangunan gedung, setiap bangunan
gedung harus memenuhi persyaratan administrative dan teknis bangunan gedung,
serta harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.
Dalam hal ini pemerintah telah mengatur dengan dikeluarkannya Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2002, tentang Bangunan Gedung. Undang-undang ini mengatur fungsi
bangunan gedung, persyaratan bangunan gedung, penyelenggaraan bangunan gedung,
termasuk hak dan kewajiban pemilik dan pengguna bangunan gedung pada setiap
tahap penyelenggaraan bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan
pembinaan oleh pemerintah, dan sanksinya.
Seluruh maksud dan tujuan pengaturan dalam undang-undang diatas dilandasi oleh
azas kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung
dengan lingkungannya, bagi kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan
berperikeadilan.
Dengan
diberlakukannya undang-undang ini, semua penyelenggaraan bangunan gedung, baik
pembangunan maupun pemanfaatan, yang dilakukan di wilayah negara Republik
Indonesia, yang dilakukan oleh pemerintah, swasta, masyarakat, dan oleh fihak
asing, wajib mematuhi seluruh ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang
Bangunan Gedung. (Adrian Sutedi, SH.,MH. Hal. 225).
Di dalam pasal 8 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 Tentang Bangunan Gedung,
telah ditentukan persyaratan administrasi bangunan gedung, yaitu :
a. status hak atas tanah dan/atau izin pemanfaatan dari pemegang hak
atas tanah ;
b. status kepemilikan bangunan gedung ;
c. izin mendirikan bangunan gedung;
d. kepemilikan,
dan pendataan bangunan gedung.
Menyangkut dengan pembangunan gedung yang dilakukan oleh pengembang haruslah
memperhatikan keharmonisan antara bangunan dengan lingkungan sekitarnya. Selain
harus memperhatikan keserasian intern, yaitu keserasian antara bahan atap,
warna bangunan, jalan masuk, saluran air bersih, air limbah, pelayanan
telekomunikasi, pertamanan, penempatan nomor, nama hunian, dan hal-hal lain
yang menunjukkan nilai dari komunitas.
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh pengembang dalam melaksanakan bangunan ,
antara lain :
a. Koefisien Dasar
Bangunan (KDB)
b. Koefisien Luas Bangunan (KLB)
c. Cadangan untuk
Kepentingan Umum (DCKU)
Untuk lebih jelasnya, masing-masing akan diuraikan sebagai berikut :
a. Koefisien Dasar Bangunan (KDB)
Koefisien Dasar Bangunan (KDB), menunjukkan luas dasar (footprint) bangunan
maksimum yang boleh dibangun dibanding luas kavling. KDB tidak boleh melebihi
rasio maksimum yang diperbolehkan seperti terlihat pada gambar kadaster yang
terlampir dalam PPJD. Persentase KDB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk
kavling akan ditentukan dalam Gambar Kadaster oleh Pengembang.
b.
Koefisien Luas Bangunan (KLB)
Koefisien Luas Bangunan (KLB) ini menunjukkan luas keseluruhan bangunan yang
boleh dibangun disbanding luas tanah. KLB tidak boleh melebihi standar yang
ditentukan oleh pengembang, rasio KLB berbeda menurut lokasi, luas dan bentuk
kavling.
c. Cadangan untuk Kepentingan
Umum (DCKU)
Daerah Cadangan untuk Kepentingan Umum (DCKU), adalah daerah dimana pengembang
berhak untuk menetapkan jarak maksimum bebas bangunan yang terdapat pada
sepanjang batas belakang atau depan sebagai cadangan jalur utilitas.
Berkaitan dengan hal tersebut beberapa
kavling akan mempunyai bak control (Inspection Chamber = IC), yang harus dapat
dicapai oleh pengembang dan/ atau pengelola dan/ atau pejabat pemerintah yang
berwenang, guna pemeliharaan system tersebut. Apabila system tersebut
memerlukan perbaikan, maka pembeli harus mengizinkan pekerja dari
instansi-instansi tersebut untuk melakukan perbaikan yang diperlukan. (Adrian
Sutedi, SH.,MH. Hal. 227).
3. Pengurusan Izin Mendirikan Bangunan (IMB)
Pengaturan dalam pemberian izin pendirian dan penggunaan bangunan dilakukan
untuk menjamin agar pertumbuhan fisik perkotaan dalam rangka mendukung
pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, tidak menumbulkan kerusakan penataan
kota tersebut. Oleh karenanya maka setiap akan membangun harus mengurus dulu
Izin Medirikan Bangunan (IMB). Sedangkan pada saat akan menggunakan bangunan
juga harus lebih dahulu memperoleh Izin Penggunaan Bangunan (IPB).
Mengapa mendirikan bangunan dan menggunakannya itu membutuhkan IMB dan
IPB ? Dalam hal ini ada beberapa alasan, yaitu :
a.
Agar tidak menimbulkan gugatan fihak lain setelah bangunan berdiri, untuk
itu sebelum mendirikan bangunan harus ada kejelasan status tanah yang
bersangkutan.
b.
Lingkungan kota memerlukan penataan dengan baik dan teratur, indah, aman,
tertib, dan nyaman. Untuk mencapai tujuan itu penataan dan pelaksanaan
pembanguna bangunan di perkotaan harus isesuaikan dengan Rencana Tata
Ruang Kota.
c.
Pemberian Izin Mendirikan Bangunan (IMB) juga dimaksudkan untuk menghindri
bahaya secara fisik bagi penggunaan bangunan. Untuk itu dibutuhkan rencana
bangunan yang matang dan memenuhi standr/ normalisasi teknis bangunan yang
telah diteapkan yang meliputi arsitektur, kontruksi dn intalainya.
d.
Pemantauan terhadap standar/normalisasi teknis banguna melalui izin
Penggunaan Bangunan diharapkan dapat mencegah bahaya yang mungkin timbul.
Tentang pelayanan penerbitan Izin Mendirikan Bangunan (IMB), sebenarnya dapat
dilakukan dengan pola pelayanan satu atap, yaitu pola pelayanan pemberian izin
yang dilakukan secara terpadu pada satu tempat/lokasi oleh beberapa instansi
pemerintah yang terlibat dalam proses penerbitan Izin Mendirikan Bangunan
(IMB), misalnya Dinas Tata Kota, BPN, Tim arsitektur, dan sebagainya
4.
Pelayanan Izin Membangun Bagi Pemerintah Daerah dalam Era Otonomi Daerah
Di dalam Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor
63/KEP/M.PAN/7/2003, tentang Pedoman Umum Penyelenggaraan Pelayanan Publik,
telah digariskan bahwa keterpaduan sistem penyelenggaraan pelayanan melalui
jaringan informasi on-line harus dikembangkan dengan penyediaan data dan
informasi sehinga penyelenggaraan pelayanan dapat dilakukan secara tepat,
akurat dan aman
Dalam hal ini ada 4 (empat) kondisi yang memacu arah perbaikan mutu pelayanan
masyarakat, yaitu :
a. Lingkungan yang berkembang dan
tuntutan masyarakat juga meningkat seiring dengan kondisi dan kwalitas hidup
masyarakat.
b. Kuatnya sector swasta mencari
lokasi tempat usaha (gedung) untuk merebut pangsa pasar di dalam memasarkan
produk barang dan jasanya di suatu wilayah.
c. Perkembangan teknologi yang dapat
memeberikan layanan terbaik dengn komunikasi yang lebih luas dan mudah.
d.
Tuntutan masyarakat yang semakin besar untuk memperoleh layanan public yang
berkwalitas, efisien dan efektif.
Dalam hal ini ada
beberapa pemikiran, anatara lain :
a. Banyaknya rekomendasi dan izin
yang harus dipenuhi untuk memperoleh IMB, seperti untuk membangun lokasi saha,
maka diperlukan rekomendasi AMDAL, dinad tata ruang dan lain sebagainya.
b.
Belum adanya system pelayanan satu atap secar menyeluruh, baik mengenai
personilnya, kantor/tempat pelayanannya, peralatan dan lain sebagainya.
5. Pembangunan Proyek-Proyek
Pemerintah
Pelaksanaan proyek-proyek pemerintah dilapangan sering berbenturan dengan
kepentingan individu dan masyarakat, yang kemudian sampai ke PTUN.
Yang menjadi persoalan adalah, mungkinkah dilakukan penundaan atas proyek
karena menunggu putusan PTUN?, Dapatkah proyek-proyek tersebut dikategorikan
kepentingan umum ?. Bagaimana nasib kerugianyang diderita penggugat akibat
pelaksanaan proyek tersebut ?.
Mengingat bahwa proyek-proyek tersebut pendanaannya adalah terkait dengan
disiplin anggaran negara, maka jika terjadi penundaan akan berdampak pada
perencanaan dan mata anggaran tersebut, apalagi jika tidak selesai tepat waktu,
maka anggaran akan hangus. Lalu siapa yang rugi ?. Yang rugi jelas pertama-tama
adalah negara, kemudian developer dan yang terakhir adalah masyarakat.
6.
Hubungan dengan Tata Ruang Kota
Penataan ruang menyangkut seluruh aspek kehidupan sehingga masyarakat perlu
mendapat akses dalam proses perencanaan penataan ruang. Konsep dasar hukum
penataan ruang terdapat dalam pembukaan Undang – Undang Dasar 1945 aliniea
ke-4, yang menyatakan “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah
darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan
bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia”. Selanjutnya, dalam pasal
33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Bumi dan air dan kekayaan alam
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”.
Ketentuan tersebut memberikan “hak penguasaan kepada Negara
atas seluruh sumber daya alam Indonesia, dan memberikan kewajiban kepada Negara
untuk menggunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.” Kalimat tersebut
mengandung makna, Negara mempunyai kewenangan untuk melakukan pengelolaan,
mengambil dan memanfaatkan sumber daya alam guna terlaksananya kesejahteraan
yang dikehendaki. Untuk dapat mewujudkan tujuan Negara tersebut, khususnya
untuk meningkatkan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa berarti
Negara harus dapat melaksanakan pembangunan sebagai penunjang dalam tercapainya
tujuan tersebut dengan suatu perencanaan yang cermat dan terarah.
Apabila kita cermati secara seksama, kekayaan alam yang ada
dan dimiliki oleh Negara, yang kesemuanya itu memiliki suatu nilai ekonomis,
maka dalam pemanfaatannya harus diatur dan dikembangkan dalam pola tata ruang
yang terkoordinasi, sehingga tidak akan adanya perusakan dalam lingkungan
hidup. Upaya perencanaan pelaksanaan tata ruang yang bijaksana adalah kunci
dalam pelaksanaan tata ruang agar tidak merusak lingkungan hidup, dalam konteks
penguasaan Negara atas dasar sumber daya alam, melekat di dalam kewajiban
Negara untuk melindungi, melestarikan dan memulihkan lingkungan hidup secara
utuh. Artinya, aktivitas pembangunan yang dihasilkan dari perencanaan tata
ruang pada umumnya bernuansa pemanfaatan sumber daya alam tanpa merusak
lingkungan.
Selanjutnya, dalam mengomentari konsep Roscoe Pound, Mochtar
Koesoemaatmadja mengemukakan bahwa hukum haruslah menjadi sarana pembangunan.
Disini berarti hukum harus mendorong proses modernisasi. Artinya bahwa hukum
yang dibuat haruslah sesuai dengan cita-cita keadilan sosial bagi seluruh
rakyat Indonesia.
Sejalan dengan fungsi tersebut, maka pembentuk undang-undang
mengenai penataan ruang. Untuk lebih mengoptimalisasikan konsep penataan ruang,
maka peraturan perundang-undangan telah banyak diterbitkan oleh pihak
pemerintah, dimana salah satu peraturan perundang-undangan yang mengatur
penataan ruang adalah Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
yang merupakan undang-undang pokok yang mengatur tentang pelaksanaan penataan
ruang.
7.Sejarah Pengaturan Tata Ruang Di
Indonesia Dulu Hingga Sekarang
Peraturan yang berkaitan dengan penataan ruang (kota) modern
di Indonesia telah diperhatikan ketika kota Jayakarta (kemudian menjadi
Batavia) dikuasai oleh Belanda pada awal abad ke-7, tetapi peraturan tersebut
baru dikembangkan secara insentif pada awal abad ke-20. Peraturan pertama yang
dapat dicatat disini adalah De Statuen Van 1642 yang dikeluarkan oleh VOC
khusus untuk Kota Batavia.
Peraturan ini tidak hanya membangun pengaturan jalan,
jembatan dan bangunan lainnya, tetapi juga merumuskan wewenang dan tanggung
jawab pemerintah kota. Pembangunan peraturan kota mulai diperhatikan lagi
setelah Pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Undang-Undang Desentralisasi pada
tahun 1903 yang mengatur pembentukan pemerintah kota dan daerah. Dimana
undang-undang ini memberikan hak kepada kota-kota untuk mempunyai pemerintahan,
administrasi dan keuangan kota sendiri.
Tugas pemerintahan kota diantaranya adalah pembangunan dan
pemeliharaan jalan dan saluran air, pemeriksaan bangunan dan perumahan,
perbaikan perumahan dan perluasan kota. Berdasarkan undang-undang ini
dibentuklah pemerintahan otonom yang disebut Gemeente, baik di Jawa maupun di
luar Jawa. Tak lama kemudian, pada tahun 1905 diterbitkan Localen-Raden
Ordonantie, Stb 1905/191 Tahun 1905 yang antara lain berisi pemberian wewenang
pada pemerintahan kota untuk menentukan prasyarat persoalan pembangunan
kota.
Karena mengalami beberapa persoalan mengenai pembentukan
kota, pada akhirnya pemerintah Hindia Belanda menyadari perlunya perencanaan
kota yang menyeluruh. Hal inilah yang memicu dimulainya pengembangan
perencanaan kota di Indonesia, meskipun pada saat itu belum ada peraturan pemerintah
yang seragam.
Peraturan pembangunan kota tidak dapat dipisahkan dengan
usaha-usaha Thomas Karsten, yang dalam kegiatannya dari tahun 1902 sampai
dengan 1940 telah menghasilkan dasar-dasar yang kokoh bagi perkembangan
peraturan pembangunan kota yang menyeluruh, antara lain untuk penyusunan
rencana umum, rencana detail, dan peraturan bangunan. Laporan Thomas
Karsten mengenai pembangunan kota Hindia Belanda yang diajukan pada
kongres desentralisasi pada tahun 1920 tidak hanya berisikan konsep dasar pembangunan
kota dan peran pemerintah kota, tetapi juga merupakan petunjuk praktis yang
dapat digunakan sebagai pedoman untuk penyusunan berbagai jenis rencana.
Peraturan yang penting bagi perencanaan kota yang disahkan
pada tahun 1926 adalah Bijblad, di mana peraturan ini yang menjadi dasar
kegiatan perencanaan kota sebelum perang kemerdekaan. Kemudian dilanjutkan pada
tahun 1933, kongres desentralisasi di Indonesia meminta pemerintahan Hindia
Belanda untuk memusatkan persiapan peraturan perencanaan kota tingkat pusat.
Menyusul permintaan ini, dibentuklah suatu Panitia Perencanaan Kota pada tahun
1934 untuk menyiapkan peraturan perencanaan kota sebagai pengganti
Bijblad.
Pada tahun 1939 pemerintah Hindia Belanda menyusun RUU
Perencanaan Wilayah perkotaan di Jawa yang berisikan persyaratan pembangunan
kota untuk mengatur kawasan-kawasan perumahan, transportasi, tempat kerja dan
rekreasi.
Masuknya Jepang ke Indonesia dan adanya perang
kemerdekaan Indonesia menyebabkan RUU Perencanaan Wilayah Perkotaan di
Jawa baru disahkan pada tahun 1948 dengan nama Stadsvorming Ordonantie, Stb
1948/168 (SVO, atau Ordonansi Pembentukan Kota), yang kemudian diikuti dengan
peraturan pelaksanaanya yaitu Stadsvormingverordening, Stb 1949/40 (SVV atau
Peraturan Pembentukan Kota).
SVO dan SVV diterbitkan untuk mempercepat pembangunan
kembali wilayah-wilayah yang hancur akibat peperangan dan pada mulanya hanya
diperuntukan bagi 15 kota, yakni Batavia, Tegal, Pekalongan, Semarang,
Salatiga, Surabaya, Malang, Padang, Palembang, Banjarmasin, Cilacap,
Tanggerang, Bekasi, Kebayoran dan Pasar Minggu.
Pesatnya perkembangan kota dan berubahnya karakteristik kota
menyebabkan SVO tidak sesuai lagi untuk mengatur penataan ruang di Indonesia,
selain hanya diperuntukan bagi 15 kota, Ordonansi ini hanya menciptakan dan
mengatur kawasan-kawasan elit serta tidak mampu mengikuti perkembangan yang
ada. Karena itulah pemerintah Indonesia mengajukan RUU Bina Kota pada tahun
1970 yang dipersiapkan oleh Departemen PUTL.
RUU ini mencakup ketentuan-ketentuan antara lain tahapan
pembangunan, pembiayaan pembangunan, peraturan bangunan, dan peremajaan kota.
Namun, usulan tersebut tidak pernah disetujui.
Setelah melalui proses yang panjang, akhirnya Indonesia
menyusun Undang-undang Nomor 24 tahun 1992 tentang Penataan Ruang, yang
akhirnya undang-undang tersebut disahkan dan berlaku. Namun seiring dengan
adanya perubahan terhadap paradigma otonomi daerah melalui ketentuan
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, maka ketentuan
mengenai penataan ruang mengalami perubahan yang ditandai dengan digantikanya
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang, menjadi Undang-Undang
Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Selanjutnya, sesuai dengan keputusan Menteri Pekerjaan Umum
Nomor 64/KPTS/1986 tentang Perencanaan Tata Ruang Kota, Rencana Umum Tata Ruang
Kota (RUTRK) setidaknya harus berisikan hal-hal sebagai berikut :
a.Kebijaksanaan
pengembangan penduduk kota;
b.Rencana
pemanfaatan ruang kota;
c.Rencana
struktur pelayanan kegiatan kota;
d.Rencana
sistem transportasi;
e.Rencana
sistem jaringan utilitas kota;
f.Rencana
kepadatan bangunan;
g.Rencana
ketinggian bangunan;
h.Rencana
pemanfaatan air baku;
i.Rencana
penanganan lingkungan kota;
j.Tahapan
pelaksanaan bangunan; dan
k.Indikasi
unit pelayanan kota